Telisa mengatakan, level rupiah saat ini yang terus bergerak ke atas Rp 16.400/US$ juga sebetulnya merupakan hasil dari akumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan. Mulai dari akibat penurunan peringkat saham RI oleh Morgan Stanley, heboh protes skema Full Periodic Call Auction (FCA) di bursa efek, hingga laporan media asing soal potensi pelebaran defisit atau rasio utang APBN 2025.
"Itu fatal banget, narasi itu fatal. Karena dari berbagai lembaga rating ingetin Indonesia itu fiskal enggak boleh terlalu tinggi, karena kita enggak sama dengan negara maju yang tax rationya tinggi. mereka 50% dari PDB tapi tax rasio udah tinggi," tegas Telisa.