Awal bulan Desember pasar keuangan Tanah Air membukukan kinerja yang cukup mengecewakan. Harga aset finansial domestik kompak membukukan pelemahan sepekan terakhir.
Pasar keuangan global sedang dirundung sentimen Covid-19 lagi. Kini muncul varian baru bernama Omicron dari Afrika Selatan yang disebut memiliki tingkat penularan lebih tinggi dari varian Delta.
Dalam waktu yang singkat, varian tersebut sekarang sudah ditemukan di berbagai negara di belahan dunia, mulai dari AS, Eropa bahkan hingga Asia.
Adanya sentimen negatif tersebut membuat investor asing kabur dari pasar keuangan dalam negeri. Hal ini tercermin dari aksi jual bersih yang dibukukan non-residen di pasar modal domestik.Pilihan Redaksi Uang Triliunan Lenyap! Ini Alasan Kenapa Pasar Kripto Ambruk Pasar Saham 2022 Diramal Gak Enak, Banyak Turbulensi Inflasi Naik Terus, Ini Ramalan Keramat Nasib Emas Ke depan
Bank Indonesia (BI) mencatat non-residen di pasar keuangan Tanah Air jual neto Rp 12,5 triliun yang terdiri dari net sell di pasar Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 9,82 triliun dan net sell di saham Rp 2,68 triliun.
Alhasil harga dua aset finansial tersebut pun turun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan pelemahan 1,06% sepekan terakhir dan ditutup di 6.538,51 pada Jumat (3/12/2021).
Harga obligasi negara pun turun. Hal ini tercermin dari yield SBN 10 tahun yang naik 17 bps dari 6,22% menjadi 6,39%.
Tekanan dan aksi jual investor asing (outflows) tersebut juga turut menekan nilai tukar rupiah. Pada periode yang sama, mata uang Garuda terdepresiasi 0,52% di hadapan greenback. Di pasar spot rupiah dibanderol Rp 14.395/US$.
Minggu depan, investor patut mencermati berbagai sentimen yang berpeluang menjadi penggerak pasar.
Pertama tentu dari sisi pandemi terkait dengan penyebaran varian Omicron. Hal ini juga membuat bos Dana Moneter International (IMF) ikut angkat bicara.
"Varian baru yang menyebar dengan cepat dapat menurunkan keyakinan dan kemungkinan akan ada penurunan proyeksi [pertumbuhan ekonomi] global dari perkiraan Oktober lalu" kata Kristalina Georgieva.
Revisi turun pertumbuhan ekonomi global di tahun 2022 yang digadang-gadang bakal jadi tahun pemulihan ekonomi global tentu menjadi sentimen pemberat pasar terutama untuk aset berisiko seperti saham.
Selain dari perkembangan Covid-19 Omicron, ada beberapa hal yang harus dipantau. Meskipun varian Omicron menjadi risiko terbesar bagi perekonomian dan pasar keuangan global saat ini,, tetapi kenaikan inflasi yang tinggi juga mendapat perhatian khusus dari pejabat bank sentral.
Di AS misalnya, inflasi terus meningkat di sepanjang tahun ini. Pada Oktober lalu, Indeks Harga Konsumen (IHK) Paman Sam naik 6,2% year on year (yoy). Ini menjadi kenaikan tertinggi sepanjang 2021 dan bahkan tertinggi dalam dekade terakhir.
Di sisi lain, sektor ketenagakerjaan AS juga terus menunjukkan perbaikan. Per November 2021, tingkat pengangguran di AS sudah berada di level 4,2% dan menjadi level terendah sejak Maret 2020.
Dalam waktu kurang dari 2 tahun tingkat pengangguran di AS bisa turun dari 14,8% pada April 2020 menjadi ke bawah 5% sejak akhir kuartal III tahun ini.
Lewat perkembangan tersebut, ada kemungkinan The Fed akan mempercepat laju tapering dan diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih awal serta agresif.
Sebelumnya The Fed resmi mengumumkan tapering pada November dengan laju US$ 15 miliar per bulan. Jika secara mendadak The Fed akan berubah jauh lebih agresif untuk mengetatkan kebijakan moneter, bsia jadi pasar bereaksi negatif.
Risiko lain juga datang dari AS adalah kelanjutan debt ceiling atau plafon utang AS. Setelah diperpanjang hingga awal Desember sekarang adalah momen penentuan.
Jika plafon utang AS tak segera dinaikkan maka AS berpeluang mengalami gagal bayar pada surat utang jangka pendeknya pada 21 Desember.
Adanya default ini bisa memicu terjadinya penurunan rating kredit AS yang membuat yield obligasi negara AS naik. Sebagai aset keuangan yang dianggap risk free, tentu saja ini bisa menjalar ke pasar keuangan global.
Melihat tone di pasar yang masih cenderung negatif dengan segala risiko yang ada untuk minggu depan, para pelaku pasar harus siap menghadapi tingginya volatilitas di pasar keuangan domestik maupun global.